SERING DENGER PENDAKI MENINGGAL DI GUNUNG ?? INI BEBERAPA PENYEBABNYA

Ranu Pane, Gunung Semeru

Kegiatan mendaki gunung kini seperti sudah menjelma menjadi trensntre, banyak orang berramai-ramai merayakan hari kemerdekaan RI di puncak-puncak gunung. Bahkan sebagian orangpun ada yang merayakan tahun baru dipuncak gunung. Melihat matahari terbit untuk pertama kalinya bersama lautan awan dari puncak-puncak tertinggi.

Kegiatan mendaki gunung ini masuk kategori olahraga yang berbahaya, tapi banyak pendaki pemula yang  memasabodohkan atau mengabaikan bahaya-bahaya saat diguning. Demi memasang sebuah foto-foto untuk di sosial media, mereka pergi ke gunung tanpa persiapan apapun. Banyak yang asal-asalan dan seringkali sembrono, kematian Shizuko Rizmadhani (15) di Gunung Gede Pangrango dan Endang Hidayat (53) di Semeru merupakan bukti dari mendaki gunung adalah bertaruh dengan nyawa.

Sayangnya banyak orang yang mendaki tanpa persiapan dan kemampuan teknis yang cukup. Banyak dari mereka yang bukan pendaki gunung, melakukan pendakian sekadar hanya untuk hura-hura. Banyak dari mereka yang tak paham aturan-aturan saat mendaki, seenaknya saja mencoreti batu, mengukir nama-nama mereka di pohon, memetik bunga atau mengambil tanam-tanaman yang ada saat mendaki, bahkan banyak dari mereka yang memenuhi gunung dengan tumpukan-tumpukan sampah.

Berikut penyebab banyaknya pendaki pemula yang sering celaka dan meninggal di gunung. Semoga berkenan dan membuat kita semua sadar, bahwa naik gunung jauh lebih bahaya daripada naik kepelaminan hahahah . naik gunung itu lebih bahaya daripada kida pergi ke mall.

Baca juga 5 jam menyusuri bukit artapela bandung

Puncak Gunung Merapi


1. MERASA PALING JAGOAN

Sebagian dari pendaki banyak yang memilik sikap sok jago atau merasa paling jago kalau lagi digunung, sikap inilah yang selalu menjadi penyebab utama musibah pada pendaki pemula. Dengan berbagai banyak alasan-alasan, para pendaki pemula ini mencari jalur pendakian di luar jalur pendakian resmi. Parahnya, seringkali mereka melakukannya tanpa memiliki kemampuan navigasi yang baik. Jangankan GPS dan peta topografi, sekadar kompas pun tak bawa.

Lalu apa yang mereka andalkan? Seringkali kita dengar petualangan mereka pun biasanya berakhir di dasar jurang, mati kedinginan di lembah atau ditandu Tim SAR ke rumah sakit. Membuka jalur baru juga berarti merusak konservasi. Mengganggu hidupan liar dan ekosistem. Para pendaki berpengalaman tak akan melakukannya selain untuk kepentingan penelitian dan ilmu pengetahuan.


2. PERGI DENGAN JUMLAH BANYAK

Lihatlah kasus Shizuko Rizmadhani (15) yang berangkat bersama rekan-rekan pecinta alam di sekolahnya dengan Jumlah 27 orang. Jumlah yang sangat besar untuk pendakian gunung, rombongan besar justru malah merepotkan. Makin sulit membagi logistik dan mengatur manajemen perjalanan, bayangkan butuh berapa kompor lapangan untuk memberi makan 27 orang itu? Lalu perlengkapan P3K? Siapa ketuanya? Apakah dia benar-benar berwibawa untuk mengatur 27 orang itu?

Kebanyakan bagi pendaki yang baru akan mendaki, jumlah besar rombongan saat mendaki memungkinan orang tua mereka lebih mudah memberikan izin jika pergi dalam rombongan besar. Orang tua merasa anaknya lebih aman karena banyak yang menjaga. Padahal salah besar, masalah akan sering muncul dengan banyaknya konflik. Keinginan anggota yang beraneka ragam dan sikap intoleransi. Lihatlah kasus Shizuko, kemana saja teman-temannya yang banyak itu? Pendakian ideal, beranggotakan 4 sampai 6 orang pendaki. Pilihlah satu orang untuk memimpin pendakian. Bukan karena dia ketua, tapi memang memiliki watak bisa diandalkan dan leadership.

Gunung Prau, Jawa Tengah

3. BURUKNYA PERSIAPAN LOGISTIK

Salah satu masalah dari pendaki pemula adalah buruknya persiapan dalam hal logistik. Dalam pikiran mereka, mendaki gunung itu selalu identik dengan mie instan, dalam hal ini adalah salah besar. Mendaki gunung adalah kegiatan berat, butuh kalori hingga 4.000 kkal per hari. Bayangkan dengan aktivitas sehari-hari yang rata-rata hanya membutuhkan 2.000 kkal per hari. Kebutuhan kalori yang besar ini didapat dari daging-dagingan berlemak, coklat dan karbohidrat.

Tentu bukan mie instan yang sulit dicerna tubuh dan menyerap air dalam tubuh. Seringkali para pemula mendapati nasi yang ditanak tak matang sempurna. Maka kombinasi makanan mereka jadi nasi keras, mie instan dan ikan asin. Karena tak nikmat, napsu makan pun berkurang. Padahal tubuh butuh banyak masukan untuk tenaga dan menjaga suhu agar tetap hangat. Dalam kondisi lemas dan lapar inilah sering terjadi kecelakaan. Kurangnya konsentrasi, pingsan hingga kematian.

4. TAK TAHU CARA PACKING 

Packing atau mengepak barang dalam ransel adalah hal yang wajib dikuasai pendaki gunung, seluruh barang bawaan harus masuk ke dalam satu ransel. Karena medan sulit, tak boleh ada yang tergantung di luar ransel selain botol air minum. Tangan harus bebas karena memegang walking stick atau berpegangan meniti akar-akar pohon jika dibutuhkan.

Kita lihatlah para pendaki pemula,dengan panci digantung ke ransel, tangan menenteng sleeping bag atau jaket. Ransel yang tak dilapisi lagi dengan cover bag, pakaian di dalam ransel tak dilapis plastik. Jika hujan, semua pakaian, jaket dan sleeping basah. Padahal sangat penting menjaga pakaian ganti tetap kering. Tidur dengan keadaan basah bisa mengakibatkan hipotermia. Inilah penyebab utama kematian seorang pendaki gunung. Suhu tubuh turun karena kedinginan.

Suhu saat di Gunung Merbabu


5. TAK BISA MEMBEDAKAN HIPOTERMIA DENGAN KESURUPAN

Pendaki pemula sering kali mendaki tanpa ilmu, hanya berbekal semangat dan tanpa perlengkapan yang memadai mereka nekat mendaki gunung. Banyak dari mereka yang tidak tahu ilmu P3K, maka sering terjadi salah kaprah dalam menangani saat terjadi kecelakaan dalam pendakian. Pada penderita hipotermia, korban akan menggigil dan kehilangan kesadaran. Lalu mulai bicara melantur. Karena nyerocos tak karuan dan sukar diajak komunikasi, teman-temannya menyangka si korban kesurupan. Mereka malah membacakan doa untuk mengusir setan.

Inilah yang mungkin terjadi pada Shizuko, seharusnya segera mungkin lakukan pertolongan dengan mengganti pakaiannya dengan pakaian kering, masukkan dalam sleeping bag yang sudah dihangatkan. Taruh juga beberapa botol air panas di dalam sleeping bag itu. Jaga kondisi lingkungan tetap hangat. Jika sudah membaik beri makanan hangat sedikit demi sedikit. Hindari memberi kopi atau minuman keras. Jangan pernah anggap enteng mengepak barang. Ini yang sering dimasabodohkan pendaki pemula.

6. MERASA PALING CEPAT

Ciri khas yang pasti kita temui dari pendaki pemula adalah merasa dirinya paling cepat, apalagi yang masih berusia muda selalu bergerak dengan cepat. Mereka selalu tergesa-gesa, menjadikan naik gunung seolah lomba lari ke puncak. Malu menjadi yang paling belakang, karena sering dianggap sebagai yang terlemah. Karena itu biasanya waktu tempuh ke puncak lebih singkat.

Baru setelah perjalanan turun, bermacam masalah datang. Dari kehabisan tenaga, cidera otot hingga kecelakaan dan kehilangan arah menjadi ancaman. Idealnya, ada seorang sweeper yang berjalan paling belakang. Biasanya orang ini yang paling kuat dan bisa diandalkan. Tugasnya menyapu seluruh anggota tim. Memastikan tak ada yang keteteran atau tertinggal di belakang.

Namun dalam rombongan pendaki pemula, tak ada yang mau menerima tugas ini. Jadi sweeper dianggap hina. Menjadi paling pertama sampai puncak dan pertama turun ke kaki gunung jadi tujuan utama. "Aku si cepat. Tanpa sadar kutinggalkan sahabatku yang kelelahan mati di gunung."

Semoga tulisan ini berkenan dan bisa membuat kita semua semakin sadar.

Baca juga B29 dekat dari semeru dekat juga dari

Tanjakan Cinta, Gunung Semeru

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer